Cerita Populer: Takhta Yang Retak Oleh Doa Terakhir



Takhta yang Retak oleh Doa Terakhir

Malam merangkak lambat, terasa seperti abadi. Salju turun dengan kejamnya di atas Paviliun Giok, menutupi segalanya dengan selimut putih dingin. Di dalam, kehangatan dupa dan aroma pahit obat-obatan herbal berbaur dengan bau amis yang meresap: DARAH. Darah yang mengering di salju yang terinjak-injak, darah yang menodai jubah sutra Kaisar.

Li Wei, Kaisar yang dulu diagungkan, kini terbaring lemah di atas ranjang naga, napasnya putus-putus. Di sisinya, berdiri seorang wanita. Bukan permaisuri yang penuh hiasan, melainkan seorang dayang sederhana, Lin Yue. Matanya, yang dulu dipenuhi cinta, kini membara dengan BENCI.

"Yue'er…," suara Kaisar serak, "Maafkan aku…"

Lin Yue tidak menjawab. Di tangannya tergenggam erat sebuah cangkir porselen putih. Uap dari ramuan di dalamnya mengepul, membawa aroma almond yang mematikan. Air matanya jatuh, membasahi pipinya, mengalir di antara aroma dupa yang menyengat.

"Maaf? Maaf untuk apa, Yang Mulia?" bisiknya pedih. "Untuk membunuh ayahku? Untuk memperbudak ibuku? Untuk mengambil segalanya dariku, lalu membuangku seperti sampah?"

Kaisar terbatuk, darah segar menyembur dari mulutnya. "Aku… terpaksa… demi takhta…"

TAKHTA! Kata itu bergaung dalam hati Lin Yue, takhta yang dibangun di atas KEBOHONGAN dan pengkhianatan. Bertahun-tahun ia memendam dendam, menunggu saat yang tepat. Bertahun-tahun ia melayani Kaisar, menyembunyikan amarahnya di balik senyum palsu.

"Takhta yang retak oleh doa terakhir," gumam Lin Yue, lebih pada dirinya sendiri. "Ayahku berdoa agar keadilan ditegakkan. Ibuku berdoa agar aku selamat. Dan aku… aku berdoa agar kau merasakan sakit yang sama seperti yang kurasakan."

Flashback melintas di benaknya: malam saat ayahnya, seorang jenderal setia, difitnah dan dieksekusi di depan matanya. Malam saat ibunya, dengan air mata berlinang, menyerahkannya ke istana agar ia bisa bertahan hidup. Janji yang diucapkannya di atas abu kremasi keluarganya: BALAS DENDAM.

Lin Yue menuangkan ramuan itu ke dalam mulut Kaisar. Ia menyaksikan tatapan Kaisar memudar, rasa sakit dan penyesalan bercampur menjadi satu. Di matanya, ia melihat bayangan dirinya sendiri, seorang gadis kecil yang kehilangan segalanya.

"Cinta dan benci… dua sisi mata uang yang sama," bisik Lin Yue, suaranya dingin seperti es. "Aku mencintaimu, Yang Mulia… dulu. Sekarang, aku hanya merasa jijik."

Kaisar menghembuskan napas terakhirnya. Keheningan menyelimuti Paviliun Giok. Lin Yue berdiri di sana, di tengah salju dan darah, seorang ratu tanpa mahkota, seorang pemenang tanpa perayaan.

Balas dendam telah terbayar, tapi hatinya tetap kosong. Ia telah membunuh Kaisar, tapi ia juga membunuh sebagian dirinya sendiri.

Dengan langkah tenang, ia meninggalkan Paviliun Giok, meninggalkan mayat Kaisar dan takhta yang retak. Di tangannya, ia menggenggam sebuah jepit rambut giok, satu-satunya peninggalan ibunya.

Lin Yue menatap langit yang mulai memerah, fajar yang MUNAFIK.

Dan ketika dia berbalik untuk melihat ke arah istana yang menjulang tinggi, dia berbisik, "Permainan baru saja dimulai."

You Might Also Like: Jualan Skincare Passive Income Kota

Post a Comment

Previous Post Next Post