Aku Mencintaimu Tanpa Syarat, dan Itu Kesalahanku yang Paling Indah
Malam ini, salju turun bagai belati perak, menusuk jantung Kota Terlarang yang remuk redam. Istana, saksi bisu bisikan cinta dan pengkhianatan, kini terbungkus kabut dingin yang menyayat tulang. Di tengahnya, berdiri Lin Mei, gaun merah darahnya menari liar diterpa angin. Di hadapannya, Kaisar Xuan, pria yang dulu diagungkannya, kini berlutut, wajahnya pucat pasi diterangi obor yang berkedip-kedip.
"Aku… aku mencintaimu, Lin Mei. Selalu." Suara Kaisar Xuan serak, nyaris tenggelam dalam lolongan angin.
Lin Mei tertawa, tawa yang dingin dan mematikan, seperti gemerisik daun kering di kuburan. "Cinta katamu? Cintamu adalah abu yang menutupi dosa-dosamu, Xuan. Cintamu adalah racun yang merenggut semua yang kumiliki."
Dupa beraroma cendana terbakar di altar, asapnya mengepul membentuk pusaran aneh, seolah arwah penasaran tengah menari mengelilingi mereka. Air mata Lin Mei menetes, membasahi tanah bersalju. Air mata penyesalan, kemarahan, dan kerinduan yang membara.
Dulu, di bawah pohon plum yang mekar sempurna, mereka berjanji. Janji sehidup semati, janji untuk melindungi satu sama lain dari kerasnya dunia. Xuan, pangeran yang cerdas dan penuh kasih, telah mencuri hatinya. Lin Mei, putri seorang jenderal pemberani, telah berjanji untuk mendampinginya. Tapi, janji hanyalah kata-kata, bukan?
RAHASIA yang terkubur bertahun-tahun kini mencuat ke permukaan, merobek kain kebenaran yang selama ini mereka rajut bersama. Xuan, demi kekuasaan, telah mengkhianati ayahnya, membunuh keluarganya, dan menggunakan Lin Mei sebagai pion dalam permainannya.
Lin Mei menatap Kaisar Xuan, matanya berkilat penuh KEBENCIAN. "Kau mengambil segalanya dariku. Namamu, kehormatanku, hidupku. Kau menjadikan cintaku sebagai senjata untuk menghancurkanku."
Kaisar Xuan terisak. "Aku melakukannya untukmu! Untuk melindungi kita! Aku tidak punya pilihan!"
Lin Mei menggeleng. "Pilihan selalu ada, Xuan. Kau hanya memilih jalan yang paling LICIK."
Di atas altar, di atas abu janji-janji yang telah dilanggar, Lin Mei mengangkat pedangnya. Kilau perak pedang itu memantulkan cahaya obor, menciptakan bayangan menakutkan di wajahnya.
"Kau pikir aku akan membunuhmu, bukan?" Lin Mei berbisik, suaranya bagai hembusan nafas iblis. "Tidak. Kematian terlalu mudah untukmu."
Balas dendam Lin Mei bukan berupa tebasan pedang yang cepat dan menyakitkan. Balas dendamnya adalah racun yang merambat perlahan, membusukkan jiwa Xuan dari dalam. Dengan senyum dingin, Lin Mei mengungkapkan rencana mengerikannya, sebuah rencana yang akan memastikan Xuan hidup dalam penyesalan abadi, terkurung dalam istana emasnya sendiri, dikelilingi oleh hantu masa lalu.
Lalu, Lin Mei berbalik, meninggalkan Kaisar Xuan yang meraung dalam kesunyian. Darah menetes dari ujung pedangnya, menodai salju putih di bawahnya.
Di kejauhan, terdengar suara burung gagak memecah keheningan. Lin Mei tersenyum. Dendamnya telah terbayar.
Dan ketika salju terus turun, menutupi jejak kakinya, Lin Mei menghilang ke dalam malam, meninggalkan satu pertanyaan yang menghantui: Apakah kebebasan sejati benar-benar ada, atau kita semua hanyalah narapidana dalam penjara hati kita sendiri?!
You Might Also Like: 0895403292432 Skincare Alami Untuk_17