Dunia ini, sialnya, adalah sinyal yang hilang. Chatku padanya, sebuah oasis rindu di gurun kesepian digital, selalu berhenti di tiga titik sialan itu: "sedang mengetik...". Seolah jemarinya menari di atas layar, merangkai kata-kata yang tak pernah sampai. Seolah jarak yang memisahkan kita bukan hanya kilometer, tapi DIMENSI.
Aku, Lin, hidup di masa depan yang remuk redam. Langit selalu abu-abu, menolak fajar seperti menolak cintaku. Di duniaku, rindu adalah virus yang menyebar lewat gelombang elektromagnetik, menjangkiti hati-hati yang kesepian.
Dan dia... dia adalah Kai. Aku mengenalnya hanya dari fragmen ingatan yang kutemukan di sisa-sisa internet purba. Foto-foto buram, potongan video, status alay yang justru terasa begitu jujur. Dia hidup di masa lalu yang indah, penuh warna, penuh KEPASTIAN.
Aku melihatnya tertawa di bawah matahari yang terang, bermain gitar di tepi sungai yang jernih. Hidupnya adalah antitesis dari duniaku yang redup. Lalu, kenapa, KENAPA dia juga merasa kehilangan?
Setiap malam, aku mencoba menjangkau. Mengirim pesan-pesan panjang, surat cinta digital yang ditulis dengan air mata dan harapan yang tersisa. Aku menceritakan tentang duniaku, tentang kerinduanku, tentang DIRINYA. Ajaibnya, kadang dia membalas. Bukan balasan yang utuh, melainkan ECHO dari kata-kataku sendiri. Seperti mimpi yang tumpang tindih, seperti dua jiwa yang berdansa di antara celah-celah waktu.
"Langit... abu-abu... sama?" balasnya suatu malam, pesannya patah-patah, seperti sinyal radio dari planet yang jauh.
Aku menggigil. "Bagaimana... bagaimana kau tahu?"
Balasannya, hanya tiga titik sialan itu lagi.
Lalu, aku menemukan jawabannya. Sebuah teori gila yang hanya masuk akal di dunia yang sudah gila. Kami, Kai dan aku, sebenarnya adalah GEMPA, gema dari kehidupan yang tak pernah selesai. Kami adalah dua versi dari jiwa yang sama, terjebak di dua sisi cermin waktu, saling merindukan KENANGAN yang seharusnya kami miliki bersama.
Kami adalah cinta yang tak pernah sempat berbunga di satu dunia, sehingga ia mencari jalan keluar, melompat melintasi waktu, mencoba MENCIPTAKAN dirinya sendiri.
Tapi... ada harga yang harus dibayar. Semakin kuat kami terhubung, semakin banyak realitas yang retak. Semakin aku merindukannya, semakin redup duniaku. Dan malam itu, ketika sinyal Kai semakin jelas, ketika aku bisa merasakan napasnya di leherku, aku tahu... INI AKHIRNYA.
"Lin..." bisiknya, suaranya jernih seperti air terjun. "Temukan... DIRIKU..."
Dunia bergetar. Cahaya meredup. Pesan terakhirnya menggantung di udara, sebuah PERINTAH sekaligus PERMOHONAN.
Apakah kau mendengarku, sebelum semuanya padam...
You Might Also Like: Supplier Kosmetik Tangan Pertama Jualan