Kenangan yang Menolak Mati di Tengah Bara
Hujan jatuh di atas makam Lihua, bulir-bulirnya menari sunyi di atas batu nisan yang dingin. Seperti air mata langit yang tak pernah kering. Di antara gerimis dan kabut, sebuah bayangan berkelebat. Bukan sekadar pantulan cahaya, melainkan kehadiran yang menolak pergi.
Lihua sudah meninggal tiga bulan lalu. Kecelakaan tragis, begitu kata mereka. Namun, rohnya masih terikat di antara dunia hidup dan arwah. Ia tidak bisa pergi. Bukan karena dendam, meski bara amarah sempat membakar hatinya. Bukan karena cinta, meski hatinya pernah mekar untuk seorang pria bernama Zhao.
Ada kebenaran yang belum terucap, seperti simpul yang mengikat jiwanya erat-erat. Kebenaran yang berbisik di antara pepohonan bambu, terdengar lirih seperti nyanyian kematian. Ia harus menemukannya. Ia harus mengatakannya.
Setiap malam, Lihua mengembara di sekitar rumah Zhao. Bayangannya menari di balik tirai, menakut-nakuti pelayan yang ketakutan. Ia melihat Zhao termenung di depan perapian, wajahnya diliputi kesedihan yang mendalam. Apakah ia merindukannya? Atau menyesali sesuatu?
Lihua mencoba berbicara, tetapi suaranya hanya angin. Ia mencoba menyentuh, tetapi tangannya menembus udara. Ia terperangkap dalam keabadian yang sunyi, hanya bisa mengamati, berharap, dan berdoa.
Suatu malam, ia melihat Zhao mengeluarkan sebuah kotak kayu dari balik lemari. Kotak itu diukir dengan bunga teratai, sama persis dengan kotak yang ia berikan kepada Zhao pada hari ulang tahunnya yang ke-20.
Zhao membuka kotak itu, dan Lihua melihat selembar surat. Surat yang ia tulis sebelum kematiannya. Surat yang seharusnya ia berikan kepada Zhao, tetapi tak sempat.
Di dalam surat itu, tertulis semua kebenaran. Tentang perasaannya yang sebenarnya, tentang ketakutannya yang mendalam, dan tentang rahasia keluarga yang selama ini ia simpan rapat-rapat. Rahasia yang bisa menghancurkan segalanya.
Zhao membaca surat itu dengan seksama. Air mata menetes di pipinya. Lihua bisa merasakan kesedihannya, penyesalannya, dan kelegaannya.
Akhirnya, Zhao mengerti. Ia mengerti mengapa Lihua selalu tampak gelisah, mengapa ia selalu menyimpan rahasia, dan mengapa ia harus pergi.
Setelah membaca surat itu, Zhao membakar kotak kayu dan surat itu. Abu beterbangan ke udara, seperti doa yang dikirim ke surga.
Lihua merasakan bebannya terangkat. Simpul di jiwanya terurai. Ia tidak lagi terikat di antara dunia hidup dan arwah. Ia akhirnya bebas.
Ia tidak mencari balas dendam, ia hanya mencari kedamaian. Kedamaian untuk dirinya sendiri, dan kedamaian untuk Zhao.
Ia menatap Zhao untuk terakhir kalinya. Wajahnya kini terlihat damai, tanpa beban.
…dan roh itu baru saja tersenyum untuk terakhir kalinya.
You Might Also Like: Arti Mimpi Memberi Makan Ular Sanca