Judul: Aku Mencintaimu di Masa Lalu, Tapi Dosanya Masih Terasa di Masa Kini
Lantai dansa berputar, memantulkan cahaya dari ribuan kristal yang menggantung anggun di atas kepala. Di tengah hiruk pikuk pesta ulang tahun keluarga Li yang mewah, aku berdiri, bagai patung es yang memandangi neraka yang pernah kucinta. Gaun sutra merah maroon membalut tubuhku, menyembunyikan gemetar halus di balik anggunnya lipatan.
Dulu, aku pernah menjadi bagian dari neraka ini. Dulu, aku mencintainya.
Senyumnya… dulu senyum itu adalah mentari bagiku. Sekarang, aku tahu itu hanya tipuan yang dipoles sempurna. Pelukannya… dulu terasa bagai rumah. Sekarang, aku tahu itu beracun, menggerogoti jiwaku perlahan. Janji-janjinya… oh, janji-janjinya. Kata-kata manis yang dulu kunilai abadi, kini menjelma belati, menusuk-nusuk memori.
Chen Yi. Nama itu masih terasa seperti racun di lidahku. Dia, pewaris tunggal keluarga Li, pria yang dulunya berjanji akan membawaku ke puncak dunia, kini berdiri di sana, tertawa bersama istrinya, seorang wanita yang lebih pantas mendampinginya, menurut standar keluarganya.
Aku menarik napas dalam-dalam. Tenang, Mei. Jangan biarkan air mata mengkhianati dirimu. Jangan biarkan mereka melihat betapa hancurnya kau dulu.
Waktu telah berlalu. Aku sudah bukan Mei yang bodoh dan naif, yang dengan mudahnya percaya pada omong kosong seorang pria. Aku adalah Meilan, seorang pengusaha sukses yang disegani, pemilik galeri seni paling bergengsi di kota. Aku membangunnya dari nol, dengan sisa-sisa hatiku yang hancur.
Malam ini, aku datang bukan untuk memohon cinta. Aku datang untuk menagih hutang.
Dengan anggun, aku menghampirinya. Chen Yi menoleh, matanya memancarkan keterkejutan yang berusaha disembunyikannya di balik topeng keramahan.
"Meilan," sapanya, suaranya sedalam beludru. "Lama tidak berjumpa."
"Memang," balasku, nada bicaraku setenang danau yang dalam. "Sudah cukup lama untuk melupakan dosa-dosamu, Yi?"
Wajahnya menegang. Istrinya, yang sedari tadi tersenyum manis, mulai merasa tidak nyaman.
"Aku tidak mengerti maksudmu," jawabnya, berusaha tetap tenang.
Aku tersenyum tipis. "Kau akan mengerti sebentar lagi. Aku membeli saham perusahaanmu, Yi. Saham mayoritas. Sekarang, aku adalah bosmu."
Ruangan terasa membeku. Kesunyian memekakkan telinga. Aku bisa melihat ketakutan merayapi wajahnya, perlahan tapi pasti. Penyesalan akan pilihannya dulu terpancar jelas di matanya. Bukan darah yang kubutuhkan. Bukan jeritan kesakitan. Aku hanya ingin melihatnya meratapi kebodohannya.
Aku mengangkat gelas sampanyeku. "Untuk masa lalu yang pahit, dan masa depan yang… menarik."
Aku berbalik, meninggalkan Chen Yi yang terpaku di tempatnya. Balas dendam ini terasa manis, namun di saat bersamaan… pahit. Karena di lubuk hatiku yang paling dalam, aku tahu…
Cinta dan dendam lahir dari tempat yang sama.
You Might Also Like: Kelebihan Skincare Lokal Dengan